Tema hari kesembilan, "jendela".
Kali ini saya akan cerita tentang awal-awal saya masuk SMA. Waktu itu tahun 1994. Saya diterima di SMA 8, salah satu SMA Favorit di Bandung.
Awal-awal sekolah di SMA 8 menurut saya terasa penuh kesukaran. Mulai dari orientasi sekolah, berkenalan dengan teman-teman dan guru-guru baru, dan belajar mata pelajaran baru yang di SMP belum diajarkan seperti kimia dan akuntansi.
Pada saat itu, saya merasa tidak betah bersekolah di situ. Saya sudah kangen sama teman-teman SMP saya, karena kami begitu dekat dan kompak satu kelas. Saya kangen dengan guru-guru SMP juga. Selain itu pelajarannya termasuk sulit. Dan membuat lebih berat, karena teman-teman sekelas saya pada pintar, jadi hanya dengan sekali diajarkan mereka sudah pada mengerti dengan cepat. Sedangkan saya… kadang dijelaskan berulang-ulang pun belum mengerti. Hal ini saya rasakan untuk pelajaran eksak seperti kimia, fisika, dan matematika. Benar-benar nightmare bagi saya.
Kadang kalau saya bertanya tentang pelajaran kepada teman-teman saya. Mereka memang menjelaskan, tapi kebanyakan secara singkat, jadi saya tetap tidak mengerti. Ya, mungkin memang saya tidak begitu cerdas… saya tidak mengerti kalau tidak dijelaskan secara terperinci. Sementara mereka sih sudah mengerti jadi menjelaskannya cepat-cepat.
Saat itu saya masih suka bermain video games dan nonton kartun. Jarang ada teman-teman sekolah yang satu hobi dengan saya. Makanya, untuk bergaul pun tidak semudah waktu saya SMP.
So, get the point? Saya tidak betah, saya tidak suka jadi anak SMA.
Baru beberapa minggu saya masuk SMA, saya mendapatkan kabar bahwa tetangga saya meninggal dunia. Dia meninggal karena sakit, kalau tidak salah sakit kanker. Namanya Oky, lengkapnya Oky Rifky Prasetya, usianya sama dengan saya. Saya tidak terlalu dekat dengan dia, karena waktu itu dia baru pindah ke dekat rumah saya. Tapi memang saya sudah jarang melihat dia di luar rumahnya, karena saya dengar dia sakit.
Selama masa duka, Mamah dan Papap jadi sering ke rumahnya untuk tahlilan dan bantu-bantu.
Pada suatu malam, pulang dari tahlilan, Mamah menghampiri saya buat menawari nasi kotak dari tahlilan tersebut kepada saya. Waktu itu saya lagi mengerjakan PR.
“Kak, mau nasi kotak? Nih kalo mau.” kata Mamah.
“Oh iya, Mah makasih. Simpen aja dulu di meja. Bentar lagi jg selesai bikin PR-nya. Nanti Kakak makan” kata saya ke Mamah.
“Iya atuh… Eh, Kak … kesian deh Ibu Kiki (ibunya Oky) nangis aja. Masih sedih ditinggal anaknya” Mamah mulai cerita.
“Oh gitu? Terus gimana?” aku balas, sambil terus mengerjakan PR.
Mamahpun cerita, tentang penyakitnya, terus bagaimana Oky tetap sholat subuh dulu sebelum paginya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dan yang membuatku berhenti menulis adalah ketika Mamah cerita …
“… Kak, Oky suka lihat Kakak dari jendela rumahnya kalo Kakak pulang sekolah. Dia bilang ke Mamahnya…Mah kapan ya Oky bisa sekolah ama pake seragam SMA kayak Adhitya? Mamahnya cuman bilang, sabar ya, Ky … nanti kalau udah sembuh, Oky bisa sekolah lagi.”
Saya terdiam. Iya, Oky sudah sakit begitu lulus SMP. Dia sudah diterima di SMA 22, salah satu SMA negeri dekat rumah juga, tapi tidak sempat masuk sekolah karena sakit.
And suddenly like a thunderbolt of lightning, something hit me … Saya sudah bisa keterima di salah satu SMA favorit, diberi kesehatan oleh Tuhan, dan bisa bersekolah, malah mengeluh tidak betah, hanya karena ada perbedaan dari sekolah yang sebelumnya. Sementara ada orang lain yang hanya bisa melihat saya di balik jendela, menginginkan jadi seperti saya, namun tidak tercapai karena dia sudah keburu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Dari situ, saya coba untuk lebih positif, belajar lebih giat, dan mencoba ngebetah-betahin diri aja. Hasilnya tidak begitu buruk, walaupun saya harus belajar lebih keras daripada teman-teman yang memang sudah pada dasarnya pintar, tapi nilai saya tidak jelek-jelek amat. Waktu penjurusan (kenaikan kelas dari 2 SMA ke 3 SMA), nilai pelajaran eksak saya di atas nilai pasar. Tapi saya tetap memilih masuk IPS. Dan kelas 3, saya selalu masuk peringkat 10 besar.
Terima kasih, Oky Rifky Prasetya … walaupun kita tidak kenal dekat, tapi kamu sudah memberi pelajaran buat saya. Walaupun hidup kita terasa berat, tapi ternyata ada orang yang tidak seberuntung kita dan ingin menjadi kita, namun yang dapat dia lakukan hanyalah menatap kita dari balik jendelanya. Maka dari itu, kita harus bersyukur, ikhlas, dan tetap berusaha.
Kali ini saya akan cerita tentang awal-awal saya masuk SMA. Waktu itu tahun 1994. Saya diterima di SMA 8, salah satu SMA Favorit di Bandung.
Awal-awal sekolah di SMA 8 menurut saya terasa penuh kesukaran. Mulai dari orientasi sekolah, berkenalan dengan teman-teman dan guru-guru baru, dan belajar mata pelajaran baru yang di SMP belum diajarkan seperti kimia dan akuntansi.
Pada saat itu, saya merasa tidak betah bersekolah di situ. Saya sudah kangen sama teman-teman SMP saya, karena kami begitu dekat dan kompak satu kelas. Saya kangen dengan guru-guru SMP juga. Selain itu pelajarannya termasuk sulit. Dan membuat lebih berat, karena teman-teman sekelas saya pada pintar, jadi hanya dengan sekali diajarkan mereka sudah pada mengerti dengan cepat. Sedangkan saya… kadang dijelaskan berulang-ulang pun belum mengerti. Hal ini saya rasakan untuk pelajaran eksak seperti kimia, fisika, dan matematika. Benar-benar nightmare bagi saya.
Kadang kalau saya bertanya tentang pelajaran kepada teman-teman saya. Mereka memang menjelaskan, tapi kebanyakan secara singkat, jadi saya tetap tidak mengerti. Ya, mungkin memang saya tidak begitu cerdas… saya tidak mengerti kalau tidak dijelaskan secara terperinci. Sementara mereka sih sudah mengerti jadi menjelaskannya cepat-cepat.
Saat itu saya masih suka bermain video games dan nonton kartun. Jarang ada teman-teman sekolah yang satu hobi dengan saya. Makanya, untuk bergaul pun tidak semudah waktu saya SMP.
So, get the point? Saya tidak betah, saya tidak suka jadi anak SMA.
Baru beberapa minggu saya masuk SMA, saya mendapatkan kabar bahwa tetangga saya meninggal dunia. Dia meninggal karena sakit, kalau tidak salah sakit kanker. Namanya Oky, lengkapnya Oky Rifky Prasetya, usianya sama dengan saya. Saya tidak terlalu dekat dengan dia, karena waktu itu dia baru pindah ke dekat rumah saya. Tapi memang saya sudah jarang melihat dia di luar rumahnya, karena saya dengar dia sakit.
Selama masa duka, Mamah dan Papap jadi sering ke rumahnya untuk tahlilan dan bantu-bantu.
Pada suatu malam, pulang dari tahlilan, Mamah menghampiri saya buat menawari nasi kotak dari tahlilan tersebut kepada saya. Waktu itu saya lagi mengerjakan PR.
“Kak, mau nasi kotak? Nih kalo mau.” kata Mamah.
“Oh iya, Mah makasih. Simpen aja dulu di meja. Bentar lagi jg selesai bikin PR-nya. Nanti Kakak makan” kata saya ke Mamah.
“Iya atuh… Eh, Kak … kesian deh Ibu Kiki (ibunya Oky) nangis aja. Masih sedih ditinggal anaknya” Mamah mulai cerita.
“Oh gitu? Terus gimana?” aku balas, sambil terus mengerjakan PR.
Mamahpun cerita, tentang penyakitnya, terus bagaimana Oky tetap sholat subuh dulu sebelum paginya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dan yang membuatku berhenti menulis adalah ketika Mamah cerita …
“… Kak, Oky suka lihat Kakak dari jendela rumahnya kalo Kakak pulang sekolah. Dia bilang ke Mamahnya…Mah kapan ya Oky bisa sekolah ama pake seragam SMA kayak Adhitya? Mamahnya cuman bilang, sabar ya, Ky … nanti kalau udah sembuh, Oky bisa sekolah lagi.”
Saya terdiam. Iya, Oky sudah sakit begitu lulus SMP. Dia sudah diterima di SMA 22, salah satu SMA negeri dekat rumah juga, tapi tidak sempat masuk sekolah karena sakit.
And suddenly like a thunderbolt of lightning, something hit me … Saya sudah bisa keterima di salah satu SMA favorit, diberi kesehatan oleh Tuhan, dan bisa bersekolah, malah mengeluh tidak betah, hanya karena ada perbedaan dari sekolah yang sebelumnya. Sementara ada orang lain yang hanya bisa melihat saya di balik jendela, menginginkan jadi seperti saya, namun tidak tercapai karena dia sudah keburu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Dari situ, saya coba untuk lebih positif, belajar lebih giat, dan mencoba ngebetah-betahin diri aja. Hasilnya tidak begitu buruk, walaupun saya harus belajar lebih keras daripada teman-teman yang memang sudah pada dasarnya pintar, tapi nilai saya tidak jelek-jelek amat. Waktu penjurusan (kenaikan kelas dari 2 SMA ke 3 SMA), nilai pelajaran eksak saya di atas nilai pasar. Tapi saya tetap memilih masuk IPS. Dan kelas 3, saya selalu masuk peringkat 10 besar.
Terima kasih, Oky Rifky Prasetya … walaupun kita tidak kenal dekat, tapi kamu sudah memberi pelajaran buat saya. Walaupun hidup kita terasa berat, tapi ternyata ada orang yang tidak seberuntung kita dan ingin menjadi kita, namun yang dapat dia lakukan hanyalah menatap kita dari balik jendelanya. Maka dari itu, kita harus bersyukur, ikhlas, dan tetap berusaha.
iya ya,,saya juga harus bersyukur,,kisahku juga hampir sama,,tapi yg aku keluhkan lebih manja lagi..haduh..
BalasHapusthx to share bang adhit! :)
You're very much welcome.
BalasHapusJendela ternyata juga bisa membuka jendela hati ya Dhit. Inspiring story..
BalasHapusIya. Makasih ya komentarnya :)
BalasHapussama kak, saya juga nggak suka matematika sama kimia, karena nggak ngerti.. :(
BalasHapusmakanya dulu juga masuk ips, dan alhamdulillah survive hehehehe.. :)